Pukul 5 pagi aku bangun untuk menyaksikan matahari terbit melalui jendela yang setengah terbuka.
Kilas balik dari semua yang kita lalui hanya mendebarkan sakit kepala di belakang pelipisku, sebuah palu yang tetap memukuli keras tengkorakku.
Namamu bak gedebuk kusam saat kubisikkan dalam otakku, tapi saat aku mengeja suku kata sebelum terucap dari lidahku, kuyakinkan agar berhati-hati supaya kenangan yang tajam tak memotong tenggorokanku.
Seperti racun dalam aliran darahku, membuatku pusing dan linglung karena aku mengalihkan tatapanku dari jendela ke langit-langit.
Aku sadar kau membuatku merasa demikian, kita berdua bisa mencoba menyalahkannya pada berlalunya bulan, tapi kita berdua tahu bahwa kita orang yang berubah.
Ini memalukan, aku sangat berharap kita takkan berakhir seperti orang lain, tapi kukira kita tak bisa memanfaatkan waktu dengan baik.
Berhenti berpura-pura karena kita kian tenggelam, jika kau rela maka relakanlah, kita tak pernah berakhir dan hanya terus berputar-putar.
Jika aku tetap menunggu disini, apa artinya ini? Kita hancur karena kau telah abaikan hubungan kita.
Kudustai hatiku karena kukira kau merasakannya, kau tak harus mencintaiku jika memang kau tak mau, kembalikan hatiku dan kan kurindukan satu hal saja, bintang yang benar-benar baru.