Selasa, 15 Oktober 2024

Konon "apa yang ditanam ayah, itu yang akan dituai oleh anak perempuannya"

Ayah, barangkali hancurku ini sebab tegamu melukai ibu. Barangkali rasa takut mencintai itu tumbuh sebab aku dibesarkan sambil melihatmu menyakiti ibu.

Berulangkali aku mencintai orang yang salah sebab aku tidak mengerti mana batasan yang masih layak dimaklumi, mana yang tidak pantas diberi maaf lagi. Mungkin, sebab aku menyaksikan sendiri bahwa ibu telah memaafkan segala salahmu berkali-kali.

Berkali-kali pula cintaku dipatahkan oleh perlakuan seseorang yang telah aku sayangi sepenuh hati. Pada titik kebencian itu, aku masih menemukan pengampunan untuknya padahal hancurku tak terkira. Barangkali aku tumbuh sembari meniru bagaimana ibu selalu memaafkan perlakuanmu.

Ayah, aku tidak tahu makna cinta yang sungguh itu seperti apa. Sebab, dulu keluarga kita tidak kekurangan satupun harta. Tapi tetap saja kau ciptakan air mata untuk kita semua sampai kita jatuh sejatuh-jatuhnya. Lalu, seperti apa makna cinta itu, yah? Sebab keluarga yang orang lain kira cemara ternyata didalamnya banyak pecahan kaca.

Jika bentuk cinta memang seperti cara ayah menyayangi ibu, akan lebih baik untukku tidak menikahi siapa-siapa. Sebab, aku tidak sekuat ibu untuk mampu menahan segalanya. Tidak seluas hatinya yang sanggup memaafkan semua luka. Tidak setegar dirinya yang bisa menyeka sendiri tiap tetes air mata. Bagiku, cinta itu menyeramkan, yah.

Aku tumbuh dalam bayang-bayang ketakutan. Pada ikatan mana aku harus percaya, yah? Sedang cinta yang ayah dapat setelah bersaksi di hadapan Tuhan saja masih sanggup ayah lukai. Perempuan yang telah melahirkan anak-anak ayah, merawat dan membesarkan kami; masih sanggup ayah khianati. Setelah lebih dari separuh hidupnya ia berikan pada ayah, balasan yang ia dapatkan hanya berupa kenyataan yang nyaris membuatnya menyerah.

Dari ayah, aku tahu bahwa aku tidak pernah tahu seperti apa lelaki yang baik itu. Meskipun ayah adalah ayah yang baik sampai saat ini, tapi sepertinya tidak layak untuk dijadikan patokan memilih pasangan hidup.

Kehilangan demi kehilangan yang ku alami pada akhirnya mengajariku bahwa cinta itu memang sebuta ibu mencintaimu.

Untuk ayah, aku tidak membencimu, tapi ayah seharusnya menjadi cinta pertamaku bukannya sakit hati pertamaku. Ayah, semua luka itu kini ku maafkan. Hiduplah dengan baik dan bahagia karena ternyata bagaimanapun derita hidupmu pasti sampai padaku. 

Untuk ibu, aku memohon pada Tuhan agar dikesempatan yang akan berdatangan nantinya, aku bisa menebus segala air mata yang jatuh, segala rasa sakit yang kau rasakan seorang diri, dan rasa lelah yang engkau sembunyikan. Bu, maaf untuk segala hal sulit yang ibu rasakan karena bertahan demi anak-anakmu, padahal ibu seringkali terluka.

Mungkin ini jawaban dari berulangkali pertanyaanku “karma siapa yang sedang aku jalani? Kenapa sesakit ini..” atau mungkin sekarang memang Tuhan sedang ingin aku semakin ikhlas dengan lika liku hidup. Entahlah.

Aku hanya bisa berdoa jikalau nanti Tuhan izinkan aku menikah, semoga lelaki itu jauh lebih baik dari ayah, sebab aku tidak sekuat ibu.

Penghindaran

Sejak awal aku adalah gadis yang patah hati Tenggelam dalam emosiku sendiri Berada di ambang kehancuran Selalu dalam kehampaan Tak ada yang ...