Ketika aku menuliskan puisiku pada tembok penghalangmu
Ku tulis dengan kapur putih agar kita bisa mengingatnya meski kian memudar seiring waktu
Berubah menjadi bagian dari kita yang kau coba temukan
Membuat hari esok dan kemarin sulit untuk di hadirkan
Apakah kau percaya bahwa alam semesta layaknya penyair?
Ataukah yang kita rencanakan akhirnya akan terjadi?
Kali ini bukan secara kiasan melainkan suatu cerita yang benar-benar memiliki makna
Seperti kebahagian yang tercermin di mataku karena berkaca pada matamu
Cerita seperti itulah yang seharusnya tertuang
Bukan cerita tentang matamu yang berkantung karena meratapi luka kita yang paling dalam
Apakah menurutmu penyair yang di usik oleh kesedihan berhak mendapat kesempatan kedua?
Ataukah yang di takdirkan sebagai pena di ciptakan untuk menderita?
Mungkin begitulah ironisnya menjadi seorang penulis
Aku meromantisasi rasa sakit dan menebar senyum saat terakhir kali melihatmu
Namun ternyata semua itu tidaklah benar
Aku hanya ingin kau tahu bahwa ada liang yang dibuat untuk dua orang
Dan ketika alam semesta menulis tentang akhir kisah kita
Takdir kita yang rumit tercekik tepat di samping satu sama lain
Berdampingan hingga kita tua dan mati
Lalu perlahan terbakar dengan puisi yang hilang ini